Hari Pertama di Kurukshetra

Fajar pertama di Kurukshetra belum sepenuhnya menyibak gelap ketika tanah mulai berguncang oleh langkah ribuan kaki. Kabut tipis menggantung di atas padang pertempuran, teraduk oleh deru genderang dan tiupan sangkakala yang mengoyak kesunyian subuh. Langit berwarna tembaga, menyimpan tanda-tanda bahwa hari ini bukan hari biasa, melainkan permulaan dari akhir sebuah zaman.

Di sisi timur, Arjuna berdiri di atas kereta perangnya bersama Sri Kresna, kerisauan terpahat dalam sorot matanya. Tangan kirinya menggenggam erat Gandiva, busur suci yang akan menuliskan takdir dengan anak-anak panahnya. Di hadapannya, pasukan Pandawa telah tersusun dalam formasi Bajrawyuha, formasi petir yang ramping namun mematikan—sebuah strategi perang yang menuntut kecermatan dan kecepatan, karena jumlah mereka jauh lebih kecil dibandingkan pihak Kurawa.

Namun yang ada dalam benak Arjuna saat itu bukan sekadar taktik. Jauh di medan seberang, berdiri Resi Bisma Dewabrata—kakek dan guru, leluhur yang ia cintai, kini menjelma musuh di medan laga. Arjuna menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang batinnya. Ia tahu, hari ini ia bukan cucu. Ia adalah kesatria.

Sementara itu, di sisi barat, Resi Bisma berdiri tegak di atas keretanya. Sosoknya bagaikan pilar zaman, rambut putih tergerai seperti jubah senja. Tatapannya menembus kabut masa lalu, menyapu tanah Kurukshetra yang kini menjadi altar pengorbanan. Ia tahu, darah yang tumpah hari ini akan menulis ulang kitab Mahabharata.

Ia telah bersumpah untuk memimpin pasukan Kurawa hingga ajal menjemput, meski hatinya tak berpihak. Bagi Bisma, perang ini adalah karma, dan ia hanya menjalankan bagiannya.

Saat sangkakala terakhir ditiup, pertempuran pun pecah. Gelombang pertama Pandawa menerjang garis pertahanan Kurawa, dan tiga ksatria Wirata tampil ke garis depan—Resi Arya Seta, sang Senapati Agung Pandawa; serta dua adiknya: Arya Utara dan Arya Wratsangka. Mereka adalah trisula dari utara: teguh, menyala, dan tanpa gentar.

BACA:  HARI KESEBELAS – MUNCULNYA API LAMA

Di hadapan Arya Utara, muncul Prabu Salya dari Mandaraka—raja yang perkasa, kini berpihak pada Kurawa karena tipu muslihat. Mereka saling tatap sejenak, bukan dalam benci, melainkan dalam hormat. Lalu senjata pun bicara.

Benturan keduanya seperti badai di dalam badai. Kapak dan gada menghantam tanpa ampun. Namun pengalaman dan usia akhirnya mengungguli semangat. Prabu Salya menemukan celah, menusukkan tombaknya menembus dada Arya Utara. Ksatria muda itu rebah dalam diam, dadanya menyatu dengan tanah leluhur.

Di sisi lain medan, Arya Wratsangka—pendiam dan gigih—beradu senjata dengan gurunya sendiri, Resi Durna. Mereka bertempur tanpa kata, namun setiap sabetan menyimpan dendam dan cinta. Durna, sang guru, tahu bahwa serangannya melukai lebih dari tubuh. Ketika Arya Wratsangka tumbang, Resi Durna berdiri sejenak, menatap langit, seolah menyesali kemenangan yang tidak layak dibanggakan.

Ketika kabar gugurnya dua adik sampai ke telinga Resi Arya Seta, seketika wajahnya berubah. Sang Senapati mengangkat tongkat perangnya, dan seperti badai yang lepas dari cengkeraman gunung, ia menerjang jantung pasukan Kurawa. Langkahnya membelah barisan lawan, senjatanya menari di antara kepala dan pelindung dada.

Tak ada yang bisa menahan Arya Seta. Ia adalah amarah yang dilahirkan oleh kehilangan. Ia adalah sumpah yang menyala oleh kesetiaan.

Melihat kehancuran merajalela, Resi Bisma sendiri maju ke gelanggang. Dua tokoh besar akhirnya bertemu di tengah padang merah. Dua orang tua, dua generasi, dua jalan hidup. Mereka bertarung bukan hanya demi kemenangan, tapi demi menunaikan takdir.

Duel berlangsung lama. Arya Seta menyerang dengan kesedihan yang membakar, dan Bisma menangkis dengan ketenangan yang dilahirkan oleh kebijaksanaan. Namun waktu selalu berpihak pada pengalaman. Dalam satu momen terbuka, lembing Bisma menembus pertahanan Arya Seta.

BACA:  Hari Kedua: Api yang Tak Padam

Sang Senapati roboh di tanah, menyusul dua adiknya. Maka pada hari pertama Bharatayudha, tiga ksatria Wirata gugur—bumi Kurukshetra menampung darah mereka, dan langit mencatat nama-nama mereka dalam kitab abadi.

Sorak-sorai membahana dari pasukan Kurawa. Duryodana bersorak di keretanya. Tapi di sisi Pandawa, hanya ada keheningan.

Yudhishthira berdiri di tengah pasukannya, menatap langit. “Hari ini kita kehilangan cahaya,” katanya lirih, “tapi api kebenaran belum padam. Mereka gugur demi Dharma, dan kita akan berjalan di atas jejak mereka.”

Sri Kresna menunduk. Hatinya diam, namun matanya melihat jauh ke depan. Ia tahu, ini baru permulaan dari sebuah kisah panjang tentang kehancuran dan kelahiran kembali.

Hari pertama telah berlalu.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*