Hari Kedua: Api yang Tak Padam

Fajar menyingsing di atas Kurukshetra, dan angin pagi membawa aroma besi, darah, dan debu yang belum reda sejak hari pertama. Cahaya matahari muncul pelan-pelan, menguak langit seperti kelopak luka yang dibuka kembali. Hari kedua Bharatayudha pun dimulai.

Dari kedua sisi, terdengar dentang genderang dan tiupan sangkakala. Tapi kali ini, bukan untuk menghormati, melainkan untuk membalas.

Kurawa menyambut hari itu dengan sorak-sorai penuh semangat. Kemenangan di hari pertama—dengan tumbangnya tiga ksatria Wirata—membuat dada mereka membusung. Formasi perang Garudawyuha, seperti burung garuda mengepak di langit perang, disusun oleh Resi Bisma Dewabrata, yang kembali memimpin pasukan mereka dari pusat formasi.

Namun di sisi Pandawa, suasana berbeda. Tak ada sorak, hanya diam yang nyaring. Tapi dalam diam itu terpendam bara: tekad untuk membalas, untuk menghapus malu, untuk menegakkan dharma. Mereka pun menyusun formasi yang sama—Garudawyuha melawan Garudawyuha. Di tengahnya berdiri Arya Drestajumena, ksatria dari Pancala, Senapati Agung yang baru, menggantikan Resi Arya Seta yang gugur sehari sebelumnya.

Di samping Drestajumena berdiri Arjuna, tenang dan menyala. Sorot matanya menusuk ke depan, menembus lapisan demi lapisan pasukan Kurawa, hingga sampai pada sosok yang begitu dikenalnya—Resi Bisma, sang kakek, sang guru, sang penjaga masa kecilnya.

Ada kasih di matanya, namun juga dendam. Arjuna menarik napas panjang dan membisik dalam hati: “Maafkan aku, Eyang. Tapi panahku hari ini tak bisa tunduk pada kenangan.”

Dengan aba-aba dari Sri Kresna, kereta Arjuna melesat ke depan, membelah gelombang pasukan seperti petir yang turun dari langit. Gandiva pun menjerit. Panah demi panah melesat ke segala arah, menggulung barisan Kurawa dalam badai tak berujung. Tubuh-tubuh roboh, kereta hancur, dan langit mulai gelap oleh kabut perang yang membumbung.

BACA:  Hari-hari Bharatayudha

Namun pasukan Kurawa telah diperintahkan satu hal: lindungi Bisma. Dan mereka melakukannya dengan darah. Lingkaran pertahanan seolah tak bisa dipecah, bahkan oleh panah surgawi sekalipun. Semakin Arjuna mendekat, semakin rapat tembok manusia yang mengelilingi Bisma. Ia merengsek maju, tapi poros kekuatan lawan tetap tak tersentuh. Bisma berdiri tegak di kejauhan, seperti bayangan masa lalu yang tak bisa didekati.

Di sisi lain medan, Arya Drestajumena bertempur dengan panah di tangan, berhadapan langsung dengan gurunya sendiri: Resi Durna. Di antara mereka, tak ada kata. Hanya panah yang bicara, hanya strategi yang bersilang.

Drestajumena berusaha keras membalas serangan gurunya, tapi tak bisa menandingi kecepatan dan kecermatan Resi Durna yang seolah menari di atas roda kereta. Panahnya patah, kudanya terengah, dan tubuhnya nyaris terguling ketika satu anak panah nyaris menyentuh lehernya.

Durna sudah siap melumpuhkannya.

Namun sebelum panah itu dilepas, sebuah raungan terdengar di medan.

Bima.

Bagaikan singa dari timur, Bima melesat ke tengah medan dengan gada Rujakpala berputar di udara. Sekali ayun, tanah bergetar. Sekali tebas, sepuluh prajurit Kurawa terpelanting. Ia datang tidak hanya sebagai saudara, tapi sebagai dinding hidup yang tak akan membiarkan Drestajumena gugur.

“Tak seorang pun menyentuh Senapati kami!” teriak Bima sambil mengayunkan gada, menghantam kereta musuh hingga terpental.

Durna memutar keretanya, enggan bertarung langsung dengan Bima. Ia tahu kekuatan anak Kunti ini bukan hal yang bisa diremehkan. Melihat itu, Duryodana segera mengirim pasukan bantuan untuk menghambat Bima—gelombang pasukan bersenjata lengkap mengarah padanya.

Namun itu hanya menambah bahan amukan.

Bima meluluhlantakkan barisan demi barisan. Ia seperti badai yang tak bisa dihentikan. Gada di tangannya menebas seperti petir, menghancurkan kereta, memecah tameng, dan melempar tubuh lawan seperti boneka.

BACA:  HARI KEEMPAT: GADA DAN KABUT

Tak butuh waktu lama, pasukan bantuan Kurawa pun tumpas. Bima berdiri kokoh, darah dan debu melekat di tubuhnya. Ia menengok pada Drestajumena yang masih terengah.

“Bangkitlah, saudaraku,” katanya, suaranya dalam dan tegas. “Hari ini bukan hari kematianmu. Hari ini hari kita membalas.”

Drestajumena mengangguk, lalu berdiri kembali dengan sisa tenaga. Di sekeliling mereka, tanah telah menjadi kuburan terbuka, dipenuhi tubuh-tubuh yang gugur.

Langit semakin tinggi. Cahaya siang perlahan berganti kemerahan oleh debu dan asap. Arjuna masih bertempur di tengah medan, tapi Bisma masih tak tersentuh. Di sisi lain, Drestajumena hidup karena perlindungan Bima, dan Kurawa kehilangan ratusan prajuritnya.

Hari kedua belum menandai kemenangan mutlak. Tapi satu hal telah berubah: Pandawa bangkit kembali. Tekad mereka tak tergoyahkan. Dendam mereka telah menyalakan nyala api yang tak mungkin padam.

Dan ketika angin sore menyapu padang Kurukshetra, suara Kresna terdengar bagai gema dari ujung zaman:

“Dharma tidak akan dibungkam oleh satu hari kekalahan. Selama masih ada keberanian, api kebenaran akan terus menyala.”

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*