HARI KELIMA: DUA BAYANG, SATU GADA

Langit Kurukshetra menggantung kelabu, berat dan penuh gema guntur. Angin gurun berembus kencang, menyapu debu dan bendera perang yang mengibar liar. Di bawah langit itu, dua formasi raksasa mulai terbentuk—Bajrawyuha dari pihak Pandawa, tajam dan menusuk ke jantung musuh, berhadapan dengan Trisulabyuha dari pihak Kurawa, formasi tiga serangan yang seperti trisula raksasa menggantung di atas medan tempur.

Di sisi Pandawa, para pemanah Pancala berbaris rapi. Dari sisi Kurawa, ribuan pasukan Madra dan Angga mulai menyusun sayap-sayap serangan. Genderang perang berdentang, mengisi udara dengan semangat yang membakar. Di tengah-tengah kerumunan itu, para ksatria Pandawa berdiri tegak seperti pilar api: Arjuna, Bima, Yudistira, Nakula, dan Sadewa. Namun kali ini, satu nama memimpin sayap serang Pandawa: Arya Setyaki, sang ksatria dari Wangsa Vrishni, murid utama Prabu Kresna.

Setyaki menatap lurus ke depan. Nafasnya tenang, tapi otot-otot tubuhnya menggeliat, siap memuntahkan serangan. Pasukan kecil yang mendampinginya—para pemanah Vrishni dan keturunan Andhaka—menanti aba-aba. Dan ketika sangkakala perang ditiup dari balik tenda Pandawa, mereka melesat bagaikan badai ke tengah medan.

Serangan Kurawa tak kalah cepat. Ratusan pasukan elit bergerak memusat ke arah Setyaki, dikirim khusus oleh Duryudana untuk menghabisi ksatria muda yang makin menonjol hari demi hari. Tapi mereka tak tahu dengan siapa mereka berhadapan.

Setyaki menebas barisan pertama dalam hitungan detik. Panahnya meluncur seperti ular menyusuri langit. Kuda perangnya berputar lincah, memotong jalur lawan, dan gada cadangannya menghantam tanpa ampun. Musuh-musuhnya tercerai-berai, banyak yang bahkan belum sempat melihat wajah sang ksatria sebelum roboh bersimbah darah.

Namun, di kejauhan, satu pasukan berhenti. Di depan mereka berdiri seorang ksatria bertubuh kokoh, berpakaian lapis baja keperakan, dengan tombak panjang yang bersinar tajam. Arya Burisrawa.

BACA:  HARI KETIGA: ANAK PANAH DAN AIR MATA

Ia hanya mengangkat tangan, dan pasukan di belakangnya mundur beberapa langkah, memberi ruang kosong di tengah medan.

“Biarkan aku yang menghadapinya,” kata Burisrawa pelan, suaranya dalam, dan tenang seperti malam.

Ketika Setyaki melihatnya, matanya menyipit. Ia mengenali sosok itu dari perbincangan-perbincangan masa lalu. Di antara para kesatria Kurawa, hanya satu yang ia anggap sebagai musuh sejati. Burisrawa, putra Somadatta, adalah perwujudan dendam lama yang mengalir turun dari kakek dan ayah mereka. Mereka tidak bertarung demi kerajaan hari ini—mereka bertarung karena darah yang belum terselesaikan.

Tanpa sepatah kata, mereka menyerang.

Benturan pertama menimbulkan gelombang kejut yang terasa hingga barisan belakang. Setyaki bergerak cepat, menebas dari samping dan melompat menghindar. Tapi Burisrawa seperti tembok hidup—tebasannya berat, tombaknya mengayun seperti batang pohon petir. Langkahnya lambat tapi pasti, dan setiap serangannya membawa kematian jika tak dihindari dengan sempurna.

Pertarungan berlangsung sengit selama lama, saling menangkis, menusuk, memutar arah. Namun perlahan, keseimbangan mulai goyah. Kecepatan Setyaki mulai menurun, nafasnya memburu. Beberapa luka kecil mulai menghiasi lengan dan pahanya. Burisrawa tetap tenang, menekan langkah demi langkah, memaksa Setyaki mundur ke tanah berpasir yang tidak rata.

“Cepat sekali kau kehabisan tenaga,” ujar Burisrawa dingin. “Atau memang hanya segini kesaktian murid Kresna?”

Setyaki tidak menjawab. Ia menangkis sekali lagi, lalu terpental. Kakinya tergelincir, dan ia jatuh bertumpu pada satu lutut. Tombak Burisrawa pun terangkat.

Lalu langit meledak.

“BURISRAWA!!”

Tanah bergetar. Kuda-kuda meringkik liar. Dan dari sisi timur medan, Bima menerobos seperti gunung yang longsor. Tubuh raksasanya menghempas prajurit-prajurit Kurawa seperti lalat. Gada Rujakpala berputar di atas kepala, menciptakan badai debu yang membuat semua mundur ketakutan.

BACA:  HARI KELIMABELAS: KEMATIAN RESI DURNA

Burisrawa menoleh, dan hanya sempat mengangkat perisai ketika gada Bima menghantam tanah di dekatnya. Dentumannya membuat Setyaki terdorong ke belakang, namun sekaligus menyelamatkannya.

Bima berdiri di antara Setyaki dan Burisrawa, tubuhnya menguap panas, dadanya naik turun menahan amarah.

“Jika kau menyentuh saudaraku,” ucapnya berat, “maka hari ini kau akan kucabik-cabik.”

Burisrawa terdiam. Tak ada ketakutan di matanya, namun ia tahu, Bima bukan lawan yang bisa dianggap enteng. Bahkan bagi dirinya, satu kesalahan saja bisa berarti akhir.

“Dendam antara aku dan Setyaki bukan urusanmu, Bima.”

Bima melangkah maju. “Kau salah. Di Bharatayudha, semua adalah urusan kami.”

Setyaki perlahan bangkit di belakangnya, wajahnya pucat namun matanya kembali menyala. Ia menggenggam busurnya kembali, siap berdiri di sisi Bima jika dibutuhkan.

Namun Burisrawa mundur perlahan, tahu bahwa medan belum berpihak padanya.

“Pertempuran belum selesai,” katanya. “Akan ada hari lain.”

Ia berbalik dan menghilang di antara barisan Kurawa yang bergolak.

Bima menoleh ke Setyaki, lalu meletakkan tangannya di bahu sang saudara seperjuangan.

“Jika kau gugur hari ini, Kresna akan memakinya sepanjang zaman,” katanya ringan, meski nadanya masih berat.

Setyaki tertawa kecil. “Dan aku lebih takut makian Kresna daripada kematian.”

Keduanya berdiri bersama di medan yang kembali mengalirkan darah dan debu. Matahari mulai condong ke barat, dan suara sangkakala menandai mundurnya pasukan dari kedua sisi. Hari kelima berakhir, namun tidak damai. Pertemuan dua bayang telah terjadi, namun badai sejati masih menunggu.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*