
Langit Kurukshetra pada hari kesebelas tak juga pulih dari dukanya. Setelah Resi Bisma Dewabrata rebah dalam tumpukan panah, medan laga seakan kehilangan penuntun. Kabut tipis masih menggantung di atas tanah, menyelubungi prajurit-prajurit dengan bayang murung yang tak mereka ucapkan, tapi diam-diam mereka bawa ke dalam dada.
Di sisi Kurawa, Prabu Duryudana duduk membisu di dalam tendanya, menatap kosong pada cawan anggur yang tak disentuh. Pikirannya berkecamuk: kekuatan utama mereka, sang Mahaguru, telah tumbang. Tapi perang belum berakhir. Ia butuh pemimpin, bukan sekadar petarung. Ia menoleh ke Resi Durna, yang berdiri di dekatnya, tenang dan tegak seperti pohon tua di tengah badai.
“Guru… kini waktunya paduka menggantikan Bisma,” ucap Duryudana perlahan.
Resi Durna tak menjawab segera. Ia menatap ke kejauhan, melewati tirai tenda, seolah melihat arwah para ksatria yang sudah gugur.
“Aku bukan Bisma,” katanya akhirnya. “Tapi jika takdir menempatkanku di medan ini, maka biarlah aku jalani tugas ini sampai akhir napas.”
Dengan itu, Resi Durna pun resmi diangkat sebagai Senapati Agung Kurawa.
Namun, peristiwa yang mengguncang lebih dalam terjadi beberapa saat kemudian, saat tanpa pengumuman, tanpa gegap gempita, Adipati Karna—yang selama ini menepi karena pertentangannya dengan Bisma—melangkah ke tengah pasukan.
Ia datang diam-diam, hanya ditemani debu jalan dan bayang-bayang cita-cita yang belum padam. Tapi langkahnya membuat barisan Kurawa berdiri lebih tegak. Mereka mengenalnya: ksatria tanpa ragu, pemilik busur Vijaya, sahabat setia Duryudana yang selalu berdiri walau ditolak, walau dicibir.
Melihat Karna, Duryudana berdiri dengan wajah lega.
“Saudaraku, akhirnya kau datang.”
Karna menunduk dalam. “Aku telah berjanji. Dan janji ksatria tak akan lapuk oleh waktu.”
Resi Durna lalu berkata, “Karna, engkau layak menjadi Senapati. Lebih dari aku.”
Namun Karna menjawab, penuh ketenangan dan hormat:
“Paduka adalah guru kami, penanam ilmu dan api keberanian dalam diri para pangeran Hastina. Biarlah aku menjadi panglima. Tapi tempat tertinggi di medan ini tetap milik orang yang telah membentuk kami dengan kebijaksanaan.”
Ia bersujud di hadapan Resi Durna. Tak ada satu pun yang menentang. Bahkan langit yang mendung pun seolah merunduk pada keagungan hatinya.
Malam itu, mereka berdua—Resi Durna dan Karna—berdiri di atas peta perang. Siasat dibentuk. Garis depan ditata ulang. Pasukan tengah dipertebal. Celah-celah yang kemarin menjadi bencana akan ditutup hari ini. Mereka bersiap bukan sekadar untuk menang, tapi untuk membalas luka.
Sementara itu di sisi Pandawa, kabar datang cepat: Resi Durna kini memimpin Kurawa. Karna telah turun ke medan perang.
Yudistira menarik napas panjang. Ia menatap saudara-saudaranya.
“Perang kini telah mencapai wajah lamanya.”
Bima, dengan tangan menggenggam gada, hanya mengangguk.
“Bagus. Aku belum lupa rasanya ingin menghantam Karna.”
Arjuna tetap diam, namun matanya menyala. Bukan karena benci—melainkan karena takdir yang mendesaknya untuk menyelesaikan urusan lama. Ia tahu, Karna akan datang padanya. Dan ia akan menunggu.
Drestajumena, sang Senapati Pandawa, berkata:
“Durna bukan lagi guru. Ia kini adalah lawan. Dan Karna… adalah pertempuran itu sendiri.”
Kresna, dari belakang, melangkah maju.
“Kurukshetra akan menyala kembali. Tapi ingat, kemenangan tak hanya soal menang bertempur. Kemenangan sejati adalah ketika kita tetap berada di sisi kebenaran, bahkan saat lawan adalah orang yang kita hormati.”
Fajar pun tiba.
Genderang dipukul. Formasi dibentuk. Kurawa dengan Durna di tengah, Karna mendampingi di sisi kanan, dan pasukan gajah mengepung sayap.
Pandawa menyusun Garudawyuha sekali lagi. Tapi kali ini, mereka tahu: tidak ada lagi waktu untuk ragu. Tidak ada ruang untuk belas kasihan. Di medan laga ini, cinta, dendam, ilmu, dan takdir akan berbenturan jadi satu.
Dan langit pun mulai menyaksikan babak baru: ketika dua guru lama dan satu ksatria yang tersingkir, kini berdiri sejajar melawan murid-murid yang mereka bentuk sendiri.
Hari kesebelas pun dimulai…
Dan Kurukshetra bergetar sekali lagi.
Leave a Reply